Jimak ( Hubungan Suami Istri ) disiang bulan ramdhan

STOP !! melakukan jimak (hubungan suami istri) di siang hari pada bulan
Ramadhan, 


Kafarat bagi suami yang melakukan jimak
(persetubuhan) pada saat ihram atau pada siang hari puasa Ramadhan. Kafaratnya
adalah dengan memerdekakan budak, puasa berturut-turut selama dua bulan atau memberi makan kepada 60 orang miskin, dengan ketentuan harus secara tartib. Dasar hukum dari kafarat jimak ini adalah hadis Nabi SAW yang diriwayatkan oleh Jemaah dari Abu Hurairah. 

Dari berbagai ayat dan hadis tentang kafarat tersebut terlihat bahwa tujuan kafarat adalah taqarrub (mendekatkan diri) kepada Allah SWT, di samping juga memerdekakan budak, dalam arti bukan untuk menanggung resiko fisik sebagaimana yang terdapat dalam hukuman-hukuman hudud atau kisas. yus/disarikan dari ensiklopedi islam.
 
Dalil darinya adalah apa yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim dari hadits Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu. Berkata:
”Disaat kami duduk-duduk bersama Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa
sallam Datang seoang laki-laki kepada Nabi shalallahu ‘alaihi wasallam
dan berkata, “Aku telah binasa wahai Rasulullah!”

Nabi menjawab, “Apa yang mencelakakanmu?”
Orang itu berkata, “Aku menyetubuhi isteriku di bulan Ramadhan”.
Nabi bertanya, “Adakah kamu memiliki sesuatu untuk memerdekakan budak?”
Orang itu menjawab, “Tidak”.
Nabi bertanya lagi, “Sanggupkah kamu berpuasa dua bulan terus-menerus?”
Orang itu menjawab, “Tidak”.
Nabi bertanya, “Apakah kamu memiliki sesuatu untuk memberikan makan enam puluh orang miskin?”
Orang itu menjawab, “Tidak”.
Kemudian Nabi terdiam beberapa saat hingga didatangkan kepada Nabi
sekeranjang berisi kurma dan berkata, “Nah sedekahkanlah ini”.

Orang itu berkata, “Adakah orang yang lebih miskin daripada kami?
Maka tidak ada tempat di antara dua batu hitam penghuni rumah yang lebih
miskin dari kami.”


Dan Nabi pun tertawa hingga terlihat gigi gerahamnya kemudian berkata, “Pergilah dan berikanlah kepada keluargamu.”

(HR. Bukhari dan Muslim)

Bergaul dengan istri di siang Ramadhan secara sengaja membatalkan
puasa. Hal ini juga ditunjukkan oleh firman Allah, yang artinya :


“Dihalalkan bagi kamu pada malam hari puasa bercampur
dengan isteri-isteri kamu, mereka itu adalah pakaian, dan kamu pun
adalah pakaian bagi mereka. Allah mengetahui bahwasannya kamu tidak dapat menahan nafsumu, karena itu Allah mengampuni kamu dan memberi maaf kepadamu. Maka sekarang campurilah mereka dan carilah apa yang telah ditetapkan Allah untukmu, dan makan minumlah hingga terang bagimu benang putih dari benang hitam, yaitu fajar. Kemudian sempurnakanlah puasa itu sampai malam”.


[QS. Al Baqarah : 187].

Allah subhanahu wa ta’ala memberitahukan tentang bergaul dengan
istri, sehingga dapat dipahami dari ayat ini, bahwa yang diinginkan
adalah puasa (menahan diri) dari mempergauli istri, makan dan minum
[Majmu’ Al Fatawa (25/219)]. Hukum ini telah menjadi kesepakatan dan
ijma’ ulama kaum Muslimin sebagaimana dinukil oleh Ibnu Al Mundzir, Ibnu
Qudamah, Ibnu Hazm [Al Muhalla, 722 dan Maratib Al Ijma’, no.39] dan Ibnu Taimiyyah [Majmu’ Al Fatawa (25/219)].


Para ulama berselisih, apakah pilihannya harus urut ataukah tidak?
Maksudnya pilihan pertama yaitu membebaskan budak. Bila tidak mampu,
maka pilihan kedua puasa dua bulan berturut-turut. Dan kalau tidak mampu
juga, kemudian pilihan ketiga, yaitu memberi makan enam puluh orang
miskin, atau bebas memilih satu di antara tiga itu.


Ibnu Al Mulaqqin menyatakan, dalam hadits ini terdapat kewajiban
membebaskan budak, kemudian berpuasa, kemudian memberi makan, secara
tertib (berurutan) tidak diberi hak memilih salah satunya. Ini merupakan
pendapat mayoritas ulama, berbeda dengan yang ditulis dalam kitab Al
Mudawanah [Al I’lam (5/220).].


Menurut Ibnu Daqiqi Al ‘Id, dalil kewajiban tertib urut (dalam
kafarat ini) adalah tertib urut dalam pertanyaan Nabi. Pernyataan Beliau
pertama kali, apakah kamu bisa mendapati budak untuk dimerdekakan?
Kemudian diurutkan dengan puasa setelah membebaskan budak, kemudian
memberi makan setelah puasa [Al Ihkam (2/15).].


Sedangkan Ibnu Hajar menyatakan, pendapat wajibnya tertib urut
dikuatkan juga dengan kenyataan, jika hal ini lebih hati-hati, karena
mengamalkannya (secara tertib) itu sah, baik kita berpendapat boleh
memilih salah satunya atau tidak boleh [Al Fath (4/164).].


Pendapat terakhir inilah yang dirajihkan (dikuatkan) oleh Syaikh Muhammad bin Shalih Al ‘Utsaimin [Tambihul Afham (3/46).].

Jadi, pada dasarnya macam-macam kafarat yang disebutkan didalam
hadits itu menunjukkan urutan (tertib) bukan pilihan. Jadi dimulai dari
membebaskan budak, berpuasa dua bulan berturut-turut dan memberikan
makan 60 orang miskin.



Untuk membebaskan budak mungkin saat ini tidak bisa dilakukan
sehingga bisa beralih kepada macam kedua yaitu berpuasa dua bulan
berturut-turut. Namun jika memang merasa tidak sanggup melakukannya
dikarenakan dorongan syahwat yang kuat dalam diri anda maka bisa beralih
kepada macam ketiga yaitu memberikan makan kepada 60 orang miskin.


Mekanisme pembayarannya

Anda diharuskan memberikan makan kepada 60 orang miskin dengan ukuran
1 mud dari setiap mereka. 1 mud dan untuk zaman sekarang setara dengan
0,675 kg atau 0,688 liter dari bahan makanan pokok.


Untuk pembayarannya  bisa memberikan kepada 60 orang miskin dengan
ukuran seperti di atas. Atau bisa juga memberikan senilai 60 orang itu
hanya kepada satu/beberapa orang saja agar bisa lebih dirasakan dan
bermanfaat buat mereka.


Anda bisa memberikan dalam bentuk bahan pokok (beras) atau anda
konversikan ke uang sebagaimana pendapat para ulama Hanafi. Adapun
penyalurannya anda bisa menyalurkannya sendiri kepada mereka secara
langsung atau melalui Lembaga Amil Zakat yang anda percaya.


Yang wajib mengganti saya sendiri sebagai suami atau kami berdua?

Para ahli ilmu telah bersepakat bahwa diwajibkan kafarat atas orang
yang menjima’ (menyetubuhi) istrinya pada siang hari ramadhan. Namun
mereka berbeda pendapat terhadap istri yang rela dan menghendakinya,
apakah wajib atasnya (istrinya) kafarat atau tidak ?


Jumhur ulama berpendapat diwajibkan kafarat atas istrinya, ini juga
pendapat Abu Hanifah, Malik dan Ahmad. Sedangkan salah satu dari dua
pendapat Syafi’i adalah tidak wajib kafarat atasnya.


Dalam permasalahan ini Sayyid Sabiq menyebutkan pendapat Imam Nawawi :
“Yang lebih kuat menurut kesimpulannya adalah hanya diwajibkan membayar
satu kafarat yaitu khusus atas pihak diri suami, sedangkan wanita tidak
perlu mengeluarkan apa pun dan tidak dibebani kewajiban, karena
kewajiban itu merupakan kewajiban mengenai harta yang khusus dibebankan
kepada pihak laki-laki semata, tidak wanita seperti halnya mahar.”
(Fiqhus Sunnah, edisi terjemahan jilid 1 hal 76)


Pendapat yang sama juga dikemukan oleh Ibnu Hajar yaitu kafarat hanya dikenakan kepada suami.

Berdasarkan penjelasan Imam Nawawi dan Ibnu Hajar di atas maka kafarat hanya dikenakan kepada suami tidak kepada istri.

Yang paling tepat—pengetahuan tentang ini ada pada Allah subhanahu wa
ta’ala—bahwa tidak wajib kafarat atas istrinya akan tetapi diwajibkan
atasnya qadha saja karena puasanya telah batal dengan berjima.


Adapun dalil tentang kafarat Dzihar yang sama sangsingnya dengan kafarat Jima siang Ramdhan. 

Kafarat zihar, yaitu ucapan menyamakan
punggung ibu dengan punggung istri. Hukumannya menurut QS Al-Mujahadah ayat 3 dan 4 adalah memerdekakan budak; jika tidak sanggup, berpuasa dua bulan berturut-turut dan jika tidak mampu juga, memberi makan 60 orang miskin. Jumhur ulama sepakat bahwa kafarat zihar ini dengan urutan seperti yang ada dalam ayat itu, tanpa ada kebolehan memilih atau mengganti-ganti urutan tersebut. Berbeda dengan jumhur ulama, ulama Mazhab Maliki berpendapat bentuk-bentuk hukuman tersebut merupakan tiga alternatif yang boleh dipilih tanpa terikat dengan tertib yang ada dalam ayat. Boleh saja yang dua didahulukan kalau kemaslahatan menghendaki demikian


Wallahu’alam bishshawwab…
Sumber : 

Kafarat Jima siang Ramadhan

Pengertian Kafarat dalam Islam: